Papan Iklan

Sabtu, 29 Mei 2010

Upah Dalam Islam


Sering kita mendengar kata upah yang sangat tidak asing bagi halayak umum. Dinegara kita tentang upah sangat membingungkan dan tidak layak atau tidak sesuai dasar-dasar Islam.
Dibawah ini ada artikel yang saya kutip dari bahan kuliah salah seorang teman di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Artikel ini membicarakan tentang upah dan pengupahan dalam Islam yang sangat penuh dengan keadilan yang berdasar pada Al Quran dan Al Hadits.

Ilmu Ekonomi baik Konvensional maupun Islam memandang tenaga kerja sebagai sebuah salah satu roda penggerak perekonomian.Tenaga kerja dianggap sebagai konsumen potensial karena sebagian besar produk nasional dikonsumsi oleh tenaga kerja dan tanggungannya.Perubahan pada upah akan sangat berpengaruh pada tingkat konsumsi, daya beli dan taraf hidup mereka. Sehingga ketika penetapan upah tidak dilakukan dalam konteks yang wajar dan adil, akan berpengaruh pada keseluruhan ekonomi. Bahkan jika hal ini terus berpengaruh dalam jangka panjang selain mempengaruhi tingkat konsumsi juga akan turut berpengaruh pada tingkat produksi industri yang mensuplai barang-barang kebutuhan konsumen tersebut.

Upah menurut pengertian Barat terkait dengan pemberian imbalan kepada pekerja tidak tetap, atau tenaga buruh lepas, seperti upah buruh lepas di perkebunan kelapa sawit, upah pekerja bangunan yang dibayar mingguan atau bahkan harian. Sedangkan gaji menurut pengertian Barat terkait dengan imbalan uang (finansial) yang diterima oleh karyawan atau pekerja tetap dan dibayarkan sebulan sekali. Sehingga dalam pengertian barat, Perbedaan gaji dan upah itu terletak pada Jenis karyawannya (Tetap atau tidak tetap) dan sistem pembayarannya (bulanan atau tidak).

Prof Benham dalam Afzalurrahman, 1991 : “Upah dapat didefinisikan sebagai sejumlah uang yang dibayarkan berdasarkan perjanjian atau kontrak oleh seorang pemilik usaha pada seorang pekerja karena jasa yang ia berikan”.

Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (Adil dan Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akherat (imbalan yang lebih baik).

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

…dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf.

وَلاَتُؤْتُوا السُّفَهَآءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوفًا

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik” (Q.S. An-Nisaa : 5)

Abi Said al- Khudri menyatakan bahwa Nabi SAW melarang untuk mempekerjakan seseorang sehingga ia menjelaskan upahnya (HR. Imam Ahmad: 11132).

Abu Said berkata: Jika engkau mempekerjakan seseorang, beritahukanlah upahnya (HR. An- Nasa’i: 3797).
Hamad ibn Abi Sulaiman ketika ditanya tentang seseorang yang mempekerjakan orang lain dengan (upah) makanan. Ia menjawab: Tidak, kecuali ia memberitahukannya (HR. An- Nas’i: 3799).
Pada masa Rasululullah terjadi perang Badr dan perang Uhud yang menghasilkan harta rampasan perang. Harta tersebut kemudian dibagi-bagikan kepada pejuang (tidak termasuk sahabat dan istri Rasulullah). Pada pembagian tersebut upah terendah yang dibagikan adalah 200 dirham dan yang tertinggi adalah 2000 dirham. Maka pada saat itu, rasio tingkat upah adalah 1:10. Kalaupun upah yang didapatkan oleh sahabat dan istri Rasul diperhitungkan (yaitu yang tertinggi adalah 5000 dirham) maka rasio upah tidak melebihi 1:25.

Ibnu Khaldun tentang Tenaga Kerja

“[Manusia] mencapai [produksi] dengan tanpa upayanya sendiri, contohnya lewat perantara hujan yang menyuburkan ladang, dan hal-hal lainnya. Namun demikian, hal-hal ini hanyalah pendukung saja. Upaya manusia sendiri harus dikombinasikan dengan hal-hal tersebut.” (2:273)
“Tenaga manusia sangat penting untuk setiap akumulasi laba dan modal. Jika [sumber produksi] adalah kerja, sedemikian rupa seperti misalnya [pekerjaan] kerajinan tangan, hal ini jelas. Jika sumber pendapatan adalah hewan, tanaman atau mineral, seperti kita lihat, tenaga manusia tetaplah penting. Tanpa [tenaga manusia], tidak ada hasil yang akan dicapai, dan tidak akan ada [hasil] yang berguna.” (2:274).

Bahan hasil Industri, tenaga buruh juga mahal di tempat makmur krn :

besarnya kebutuhan yang ditimbulkan oleh meratanya hidup mewah dalam tempat yang demikian, dan padatnya penduduk.
gampangnya orang mencari penghidupan, dan banyaknya bahan makanan di kota-kota menyebabkan tukang-tukang (buruh) kurang mau menerima bayaran rendah bagi pekerjaan dan pelayanaannya.
banyaknya orang kaya yang kebutuhannya akan tenaga buruh dan tugang juga besar, yang berakibat dengan timbulnya persaingan dalam mendapatkan jasa pelayanan, dan pekerja, dan berani membayar mereka lebih dari nilai pekerjaannya.

Tingkat Upah Minimum

Islam tidak membiarkan upah berada dibawah tingkat minimum yang ditetapkan berdasarkan kebutuhan pokok kelompok pekerja, tetapi islam juga tidak membiarkan adanya kenaikan upah melebihi tingkat tertentu yang ditentukan berdasarkan sumbangannya terhadap produksi.
Kondisi ekonomi yang berubah mengakibatkan perubahan dalam hal penjualan dan tentunya akan mengakibatkan perubahan dalam hal pendapatan termasuk diantaranya pekerja. Secara sunatullah setiap manusia memiliki kebutuhan pokok yang harus dipenuhi dan hal ini telah dijelaskan dalam Q.S Al-Baqarah: 233 “..dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf”. Dalam ayat tesebut dikatakan bahwa kewajiban ayah adalah makan dan pakaian. Hal ini bukan berarti ayah tidak memiliki kewajiban lainnya, namun konteks tersebut mengacu pada hal yang minimal. Jika ayah adalah seorang pekerja yang mendapatkan upah, maka dapat disimpulkan bahwa upah tersebut haruslah memenuhi kebutuhan pokok yaitu makan dan pakaian, juga perumahan (Q.S. Thahaa: 118-119). Hal yang sama juga ditegaskan dalam Q.S. An-Nisaa: 5.

FAKTOR PENENTU TINGKAT UPAH

Faktor Objektif
Faktor obyektif inilah yang menentukan upah berdasarkan kontribusi maupun produktivitas tenaga kerja itu sendiri di pasar tenaga kerja. Mengingat manusia bukanlah seperti faktor produksi lainnya, manusia adalah manusia bukan benda mati, sehingga ia tidak dapat diperlakukan sama seperti barang modal. Mereka harus diperlakukan sebagai manusia yang utuh. Manusia tidak dapat diperjualbelikan seperti halnya dengan barang modal, sehingga tidak mungkin hanya berdasarkan mekanisme pasar / market wage serta nilai kontribusi tenaga kerja terhadap produktifitas (value of marginal product of labor).
Faktor Subjektif
Adanya faktor subyektif dalam penentuan upah ini akan menyebabkan tingkat upah yang islami tidak berada pada satu titik tertentu (market wage), melainkan pada suatu kisaran (range) tertentu. Lebar dan sempitnya kisaran ini akan sangat tergantung dari pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan.

TABEL KONSEP UPAH
Islam & Konvensional
No Aspek Barat Islam
1 Keterkaitan yang erat antara UPAH dengan MORAL Tidak Ya
2 Upah memiliki dua dimensi : Dunia dan akherat Tidak Ya
3 Upah diberikan berdasarkan Prinsip Keadilan (justice) Ya Ya
4 Upah diberikan berdasarkan prinsip Kelayakan Ya Ya

0 komentar:

Posting Komentar